Di tengah hiruk-pikuk dunia kerja modern, muncul satu istilah yang jadi sorotan HR, manajer, hingga para eksekutif: Quiet Quitting.

Bukan berarti berhenti bekerja, tapi berhenti "melebihi batas" tanpa kompensasi yang jelas. Fenomena ini kini jadi ciri khas Gen Z di tempat kerja — dan diam-diam, mengubah lanskap budaya kerja global.

🔍 Apa Itu Quiet Quitting?

Quiet Quitting adalah gaya kerja di mana karyawan tetap menjalankan tugas sesuai jobdesk, tapi tidak lagi bersedia bekerja lembur, menjawab chat di luar jam kerja, atau mengambil tanggung jawab tambahan tanpa kejelasan insentif.

Gen Z tidak malas — mereka menuntut keseimbangan hidup, kejelasan peran, dan penghargaan yang adil.

📈 Mengapa Ini Terjadi?

1. Burnout & Keseimbangan Hidup
   Gen Z lebih sadar kesehatan mental. Mereka memilih “bekerja untuk hidup” — bukan “hidup untuk bekerja.”

2. Kekecewaan pada Ekspektasi Kantor
   Banyak yang merasa kerja ekstra tidak dihargai, baik secara finansial maupun karier.

3. Transformasi Budaya Kerja Digital
   Setelah pandemi, batas antara kerja dan kehidupan pribadi makin kabur. Gen Z mencoba mengembalikan batas itu.

⚠️ Dampaknya ke Dunia Kerja

• Perusahaan mulai mengganti cara memimpin: dari kontrol ke kolaborasi.

• HR kini dituntut menciptakan engagement lebih dari sekadar bonus.

• Organisasi menyadari bahwa retensi karyawan tidak bisa dibeli, tapi harus dibangun.

🎯 Kesimpulan

Quiet Quitting bukan soal karyawan malas. Ini sinyal bahwa budaya kerja perlu berevolusi menjadi lebih sehat, manusiawi, dan saling menghargai.

Buat perusahaan, ini saatnya membangun komunikasi dua arah, memperjelas ekspektasi, dan memberi ruang tumbuh bagi tim.

Ingin memahami dan menghadapi fenomena ini dengan strategi yang tepat?

📍Cocok untuk:

• HR & Manajer Tim

• Karyawan Muda & Supervisor

• Profesional yang ingin membangun budaya kerja sehat

  
  

🎓 MasterB — Ciptakan Tim yang Tumbuh, Adaptif, dan Kolaboratif!